Bukittinggi, Sumbarlivetv.com– Nyanyian Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu yang mengklaim pihaknya memiliki big data berisi aspirasi publik di media sosial mengenai penundaan pemilu 2024 berbuntut panjang. Luhut mengklaim Big Data tersebut merekam 110 juta suara warganet yang menginginkan pemilu 2024 ditunda.
Dikutip dari detikNews “Karena begini, kita kan punya big data, saya ingin lihat, kita punya big data, dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 jutalah,” kata Luhut.
Terang saja klaim tanpa dasar Luhut mengenai Big Data ini memicu keributan dikalangan masyarakat hingga aksi demo penolakan digelar dimana-mana, isu ini diperparah oleh geliat pergerakan bawah tanah yang memasang spanduk hingga baliho Jokowi 3 periode di beberapa daerah seperti Riau, Sumatera Selatan, Jambi, dan Lampung.
Isu penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan Jokowi menjadi 3 periode ini pertama kali dipantik oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia yang menyebutkan dunia usaha menghendaki pemilu diundur hingga 2027. Selanjutnya ide tersebut disambut sejumlah pimpinan partai politik seperti ketua umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto yang kini juga menjabat sebagai Menko Perekonomian, serta Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.
Menanggapi hal tersebut Dr. Wendra Yunaldi, SH., MH ahli hukum tata negara sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatera Barat menegaskan bahwa konstitusi bukanlah persoalan dukung mendukung namun bicara benar dan salah menganai apa yang diatur oleh konstitusi itu sendiri. Secara jelas konstitusi sudah mengatur masa jabatan presiden dibatasi 2 periode, dan UU pemilu sudah disahkan, pemilu akan dilaksanakan pada bulan Februari 2024.
Walaupun berwacana sah saja menurut alam demokrasi, namun wacana presiden 3 periode adalah ide yang lontarkan para politisi, elit, atau akademisi yang mabuk dan menghamba terhadap kekuasaan bukan atas dasar kepentingan rakyat. Mereka sengaja menyebarkan isu-isu yang membuat rakyat terpecah belah kalau dulu kadrun dan cebong saat ini pro dan kontra Jokowi 3 periode, hal ini selalu dilakukan oleh elit yang takut kekuasaanya berakhir pada saat siklus pemerintahan bergeser.
Amanat reformasi pertama dan amandemen pertama UUD 1945 adalah membatasi jabatan presiden cukup 2 periode, hal ini tercantum dalam Pasal 7 UUD 1945 yang menyebutkan masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya dua periode. Sehingga ketika ada yang ingin merubah menjadi 3 periode atau lebih ini adalah orang-orang yang menyatakan dirinya reformasi tapi pengkhianat dan ingkar terhadap amanat reformasi itu sendiri, lanjutnya.
Sayangnya ada beberapa tokoh atau aktivis reformasi yang sekarang menjadi politisi, elit politik, anggota DPR RI, atau akademisi malah ikut mengaminkan dan mendukung wacana presiden 3 periode, padahal dulu mereka berjuang menjatuhkan pak Harto agar kekuasaan presiden itu dibatasi hanya 2 periode. Aneh dan menimbulkan pertanyaan jika mereka mendukung wacana presiden 3 periode.
Malah yang lebih aneh dan konyol memperpanjang jabatan presiden dari 2024 hingga 2027 dengan alasan permintaan dunia usaha. Itu adalah ide konyol yang dilontarkan orang-orang yang bisa jadi dilingkaran presiden, istana, orang haus kekuasaan atau orang-orang yang takut kepentingan jangka panjang terganggu jika presiden Jokowi berakhir 2024, tutur Wendra.
Secara tegas Dekan Fakultas Hukum UM Sumatera Barat ini berpesan kepada akademisi dan kaum intelektual yang mendukung dua wacana tersebut, mereka adalah pengkhianat terhadap intelektualisme apalagi orang-orang hukum yang ikut mendukung wacana itu, saya himbau untuk mengulang kuliahnya kembali.
Terlepas dari penilaian Jokowi bagus, terbaik, dan lain sebagainya kita harus belajar dari sejarah yang terlalu mengagung-agungkan kekuasaan seperti Soekarno hingga dinobatkan sebagai presiden seumur hidup toh akhirnya jatuh juga, begitu juga zaman Soeharto yang bagus diawal pemerintahanya hingga di elu-elukan orang-orang disekitarnya akhirnya jatuh juga.
Hari ini rakyat Indonesia butuh ketegasan sikap presiden Jokowi menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, masyarakat tidak ingin mendengar kalimat saya akan ikut konstitusi, taat konstitusi. Tapi jangan sampai dibelakang kata ketaatan ada yang bergerak untuk merubah konstitusi presiden menjadi 3 periode atau perpanjangan jabatan presiden.
Karena kalau konstitusi sudah dirubah dan presiden manyatakan taat konstitusi maka terjadilah terjadilah hal yang tidak diinginkan rakyat. Kita minta ketegasan Jokowi meskipun dia sudah melarang menteri-menterinya agar berhenti bicara mengai hal tersebut. Masih segar diingatan masyarakat beberapa hal paradok dengan ucapan Jokowi, sebab apa yang diucapkan tidak sesuai dengan pelaksanaan. Atau apa yang sudah diputuskan pak Jokowi kemudian bisa dibatalkan oleh para menteri-menterinya.
Kita masih ingat perkataan pak Jokowi ketika dicalonkan sebagai presiden saat masih menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta, pak Jokowi mengatakan “NDAK MIKIR” ternyata jadi calon presiden, oleh sebab itu opini publik yang meresahkan ini butuh ketegasan dari Jokowi, ujar ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tatanegara Wilayah Sumatera Barat ini mengakhiri.
Frans