Sejarah Pasa Banda Buek berdarah
Foto : Tugu pasar Bandar Buat

Sumbarlivetv.com, Padang – Sejarah Pasa Banda Buek berdarah. Bangunan tugu ini terletak didepan halaman Pasa Banda Buek (di Indonesia kan Pasar Bandar Buat). Letaknya berdekatan dengan perparkiran pasar tersebut. Bahkan saat ini dekat tugu itu terdapat sebuah bak (kontainer) sampah. Bagi pernah mellintas di jalan raya pasar tersebut, seperti yang akan menuju ke dari Solok, atas daerah sekitarnya, pasti sering mellihat tugu ini. Tapi apakah dunsanak tahu peristiwa yang terjadi kenapa tugu ini dibangun ditengah pasar dan keramaian orang. Inilah satu-satunya tugu di Kota Padang yang berada ditengah pasar yang dibangun untuk memperingati kejadian luar biasa ditengah pasar tersebut. Tiga patung dengan ekspresi berbeda. Ada yang menunjuk ke langit, menunjuk pesawat Belanda yang datang membombardir pasar tersebut. Patung wanita yang mendekap dada karena ketakutan, terbayang anak dirumah tidak ber-Ibu lagi. Ekspresi kematian yang sudah didepan mata.

Pasar Banda Buek pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan memiliki peranan sangat penting dalam menunjang perekonomian Kota Padang. Kekuasaan dan kekuatan militer Belanda telah melumpuhkan setiap sendi kehidupan di kota ini. Orang lebih mengutamakan keselamatan jiwa dari pada memikirkan kepentingan lainnya. Hanya mereka yang terus berjuang menganggu kedudukan pasukan Belanda atau kaki tangan Belanda yang berani tinggal di dalam kota. Pasar Raya Padang atau Pasar Goan Hoat tidak maksimal lagi menjalankan fungsi ekonominya. Toko-toko banyak yang tutup. Kalaupun ada yang buka itu pun hanya kedai minuman dan makanan ringan yang bisa angkat kaki segera jika keadaan tidak aman. Bahkan toko-toko milik orang China terpaksa harus tutup karena takut dijarah atau diminta bantuan untuk kebutuhan perjuangan.

Pasar Banda Buek inilah salah satu pasar luar kota yang masih aktif waktu itu. Posisinya sangat strategis sekali. Para pedagang dari arah Solok, Pesisir Selatan dan sekitar Pauh V dan IX (Pauh dan Kuranji sekarang), setiap hari Selasa dan Sabtu akan berdagang karena hari itu adalah hari balainya Pasar Banda Buek. Tak jarang juga, bahkan sering, pasar ini tempat beredarnya informasi perjuangan serta rencana gerilya dan agar tidak dicurigai Belanda atau sekutunya.

Belanda pada dasarnya memang berkeinginan mengembalikan kekuasaannya yang sempat terputus karena menangnya Jepang. Satu-satunya cara adalah membonceng dengan kedatangan tentara Inggris agar tidak ketahuan lebih awal. Pemuda dan masyarakat di Kota Padang mengetahui hal itu, dan mereka tidak bodoh. Secara terpisah dan berkelanjutan kedudukan Belanda dan Sekutu selalu mendapat gangguan serangan. Tentu saja semua itu menjadi alasan pihak Belanda untuk mengambil tindakan pengamanan.

Berawal pada tanggal 7 Januari 1947 tentara Belanda melepaskan tembakan dengan meriamnya ke arah Kampung Alai, Kampung Kalawi, Andalas, Anduriang dan sekitarnya. Tembakan ini semata-mata untuk melindungi barisan tentaranya yang bergerak ke jurusan Ampang, Andurian, Lubuak Bagaluang dan Pisang. Keunggulan senjata dan strategi perang Belanda ternyata harus berhadapan dengan kegigihan dan semangat yang tinggi dari pihak tentara dan pejuang. Sebuah ranjau darat yang dipasang pejuang berhasil meledakan dua truk berikut isinya hingga hancur.

Belanda tidak percaya akan kejadian itu. Besoknya, dipagi hari tanggal 8 Januari 1947, empat mustang (pesawat terbang) dengan perlengkapan senapan mesin dan roketnya menyerang dari udara markas batalyon gabungan di Indarung.

Tidak puas sampai disitu, sepuluh hari kemudian yaitu tanggal 18 Januari 1947, tentara Belanda kembali dengan pesawat terbang tempurnya menembaki Pasar Banda Buek. Saat itu pasar sedang ramai karena hari balai atau hari pasar (Sabtu). Hari itu orang yang berjualan dan pembeli sampai melimpah ke luar pasar, sebab sejak terputusnya hubungan dengan Kota Padang, perdagangan pasar-pasar diluar kota semakin meningkat. Pasar yang sedang penuh sesak diberondong dengan tembakan dari udara.  Wanita dan anak-anak yang lebih banyak dipasar itu menjadi panik dan lari tidak tentu arah. Lebih kurang 50 orang tewas dalam serangan itu. Puluhan orang lainnya terluka parah di rawat di rumah sakit tentara di Indarung. Pesawat tempur Belanda melakukan serangan itu karena melihat adanya bendera merah putih yang berkibar di Kantor Camat Lubuak Kilangan yang berdekatan dengan Pasar Banda Buek. Inilah bukti kekejaman Belanda yang membabi buta dan tidak berprikemanusiaan dalam sejarah kependudukannya di  Kota Padang.

Korban-korban yang meninggal dan diketahui oleh sanak saudaranya setelah kepergian pesawat Belanda dibawa dan dikuburkan dikampung mereka atau ditempat karib kerabatnya. Mereka yang luka tapi tidak dikenal dibawa ke Pos PMI (Palang Merah Indonesia), klinik terdekat atau ke rumah sakit Indarung. Sedangkan korban tidak dikenal dikumpulkan di sebuah Sekolah Rakyat Banda Buek yang terletak tidak berapa jauh dari pendakian jalan ke Ruah Sakit Jiwa Gadut sekarang. Pasar seketika lengang. Dimana-mana mayat bergelimpangan. Darah mengalir bak air sungai. Pasar Banda Buek berdarah karena serangan sadis dan kejam itu.

Dalam proses evakuasi jenazah ini peranan barisan Sabil Muslimat dibawah pimpinan H. Djamaluddin dari Pauh V sangat besar sekali. Mereka mengangkat satu persatu jenazah dipasar itu untuk diselenggarakan sesuai syariat Islam. Karena tidak adanya kain kafan maka tikar-tikar yang digunakan untuk alas berdagang dijadikan sebagai kafan jenazah. Jenazah yang sudah dikafani kemudian dibawa kebelakang sekolah tadi yang berjarak lebih kurang 1,5 km dari Pasar Banda Buek. (SD yang berdekatan dengan SMP 23 Padang sekarang, Simpang Gaduik). Namun karena hari sudah senja terpaksa rencana penyelenggaraan jenazah itu dilaksanakan esok harinya. Pengurusan jenazah yang berserakan di pekarangan sekolah maupun yang masih tersisa di pasar dan sekitarnya harus ditunda dulu.

Ternyata keesokkan harinya sekitarpukul sepuluh pagi pesawat tempur Belanda kembali terbang rendah untuk menyerang Indarung tempat markas gabungan tentara, dimana saat itu Batalyon Anwar Badu bermarkas. Batalyon ini diincar Belanda karena telah menghancurkan dua truknya beberapa hari sebelumnya. Tentu saja kehadiran pesawat itu membuat rencana menjadi batal. Seluruh penduduk yang mengetahui penyerangan Pasar Banda Buek maupun mereka yang akan menguburkan jenazah segera menyelamatkan diri dengan menyeberangi sungai yang tidak jauh dari sekolah dasar itu. Setelah keadaan dirasa benar-benar aman walau untuk sementara,  Camat Lubuk Begalung, St. Harun Al Rasjid, yang berada ditempat kejadian menghubungi Camat Pauh, Latief Usman yang saat itu sedang berada di Limau Manih, kepadanya diminta mengerahkan rakyatnya untuk melakukan penguburan segera sebab jenazah didua tempat itu sudah mulai mengeluarkan bau menyengat. Dikarenakan hari masih siang dan khawatir akan kedatangan pesawat tempur Belanda, maka disepakati penguburan dilakukan pada malam harinya sekitar pukul tujuh.

Penguburan pada malam hari dilakukan dibawah penerangan beberapa obor, tapi ternyata tidak semua jenazah bisa dikuburkan. Hal itu disebabkan tidak saja karena kurangnya penerangan, namun banyak dari masyarakat yang ikut membantu itu tidak tahan dengan bau busuk bahkan ada yang muntah-muntah. Selama lebih kurang lima hari mayat-mayat itu belum dikuburkan semuanya. Dapat dibayangkan bagaiamana suasana Pasar Banda Buek dan Sekolah Dasar waktu itu. Bau busuk sudah tercium sampai kemana-mana. Melihat keadaan ini, muncul inisiatif dan disepakati saja untuk membakar mayat-mayat tersebut, karena jika tidak dikuburkan atau dibakar segera dikhawatirkan dapat berjangkitnya penyakit-penyakit yang berasal dari bau busuk mayat-mayat tersebut.

Syukurlah pada waktu itu, salah seorang anggota Batalyon I pimpinan Anwar Badu yang bernama Abdoel Munaf, mengumpulkan orang-orang dari Banda Buek yang mengungsi bergotong royong untuk penguburan. Atas usahanya itu, sekitar jam satu siang, sekitar tanggal 25 Januari 1947 seluruh jenazah baik yang di pekarangan sekolah rakyat maupun di pasar dapat dikuburkan.

Camat St. Harun Al Rasjid dan Latief Usman beserta beberapa orang tokoh kemudian sepakat mengumpulkan barang-barang yang bertebaran di pasar yang ditinggalkan pemiliknya untuk dibagikan kepada masyarakt yang membantu proses penguburan atau kepada pengungsi yang telah kembali.

Pasar Banda Buek telah menjadi saksi sejarah yang tak terlupakan. Setiap nyawa yang melayang itu adalah para shuhada walaupun mereka tidak ikut memegang senjata dan ikut bertempur. Para pedagang dan pembeli yang gugur itu adalah para pejuang ekonomi. Melalui mereka lah dapur umum perjuangan selalu berasap. Mungkin tanpa mereka gerakan juang akan lambat karena perut kosong dan keroncongan.

Sekarang tugu itu bukan lagi sebuah simbol perjuangan. Fungsinya tak lebih sekedar bangunan kecil yang membuat lahan parkir jadi sempit. Hanya bangunan yang merusak pemandangan. Semoga saja dunsanak yang membaca tulisan ini tergerak untuk memahaminya, menekurkan kepala sebagai penghormatan dan menjaga agar tugu itu selalu ada. Merdeka itu mahal. Sekali merdeka tetap merdeka. Merdeka.

Baca juga : Mesin ATM Beras di Masjid Nurul Iman Kota Padang Sudah Bisa di Gunakan

Ricky/Marshalleh Adaz

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *