Sumbarlivetv.com – Geisha Pelindung Seni Tradisional Jepang Yang Mulai Dilupakan. Geisha telah lama menjadi salah satu dari ikon budaya Jepang. Namun, hanya sedikit orang Jepang saat ini yang pernah bertemu dengan geisha. Meskipun banyak yang memiliki gambaran samar tentang wanita anggun kimono yang memeriahkan jamuan makan atau pesta, hanya sedikit yang tahu bahwa geisha adalah penghibur profesional yang telah melestarikan dan mewariskan musik shamisen dan berkontribusi pada perkembangan seni tradisional Jepang.
Setidaknya hingga tahun 1960-an, setiap kota di Jepang memiliki restoran tradisional yang disebut ryotei, Di mana pelanggan dapat membuat pesta atau jamuan makan. Acara–acara ini bukan sekedar untuk menikmati hidangan gourmet, tetapi juga penting sebagai sarana interakasi sosial atau jaringan bisnis, dan geisha akan dipekerjakan untuk membantu tuan rumah menjamu tamu – tamunya.
Tetapi banyak hal mulai berubah setelah tahun 1970-an, dengan berlalunya generasi yang lahir pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, yang telah memimpin kebangkitan ekonomi Jepang pasca perang. Pada 1980-an, hotel dan klub malam semakin menjadi tempat pilihan untuk jamuan makan dan pesta, dan popularitas distrik geisha yang dikenal sebagai kagai atau hanamachi (area dimana ryotei diizinkan menyewa geisha untuk hiburan) mulai menurun.
Meskipun waktu telah berubah, beberapa kagai dari periode Edo ( 1603 – 1868 ) telah berhasil bertahan, dan geisha dari distrik tersebut berpakaian seperti yang mereka lakukan di masa kejayaan mereka. Tetapi dengan budaya yang hampir menghilang ini, jarang ada pria Jepang yang memiliki pengalaman dituangkan minuman oleh geisha.
Kata geisha menggambarkan seseorang yang berprestasi dan unggul dalam beberapa bentuk seni. Itulah adalah nama “geisha”. Penulis puisi renga atau haikai, aktor no terkemuka, pemain teater komik kyogen, dan orang lain yang mencari nafkah dalam bidang seni pertunjukan sering disebut sebagai geisha. Dan ketika, Yoshiwara, tempat hiburan berlisensi yang didirikan oleh shogun pada tahun 1618, mulai berkembang, istilah tersebut mulai digunakana untuk merujuk pada pria yang melayani sebagai perantara antara wanita di daerah tersebut dan pelanggan mereka.
Seni pada masa itu mengacu pada segala bentuk hiburan, mulai dari komposisi puisi dan upacara minum teh, hingga merangkai bunga, persembahan dupa, dan banyak lagi.
Secara khusus, lagu – lagu populer yang diiringi dengan shamisen menjadi hiburan penting pada jamuan makan, dan peran utama geisha adalah memainkan shamisen. Pada pertengahan abad kedelapan belas, prostitusi ilegal dari luar Yoshiwara mulai merampas bisnis dari para wanita di daerah Yoshiwara. Pemilik rumah bordil Yoshiwara yang prihatin dengan kejadian ini, membuat prostitusi ilegal berjanji bahwa mereka tidak akan lagi memperdagangkan diri mereka.
Sebagai gantinya, mereka memutuskan untuk secara resmi mengakui dan mengawasi wanita – wanita ini sebagai geisha bersama wanita lainnya yang sudah bekerja dalam sistem. Jumlah geisha perempuan kemudian bertambah dengan pesat, dan geisha laki – laki mulai dipanggil hokan atau taikomochi. Peran utama geisha wanita selama periode Edo sama seperti geisha laki – laki terdahulu, memainkan shamisen.
Tetapi tugas lain mereka adalah bertindak sebagai perantara, atas permintaan pelanggan, untuk mengatur hubungan antara pelanggan dan penghibur wanita.
Memainkan shamisen telah menjadi keterampilan penting bagi seorang geisha sejak zaman Edo. Tidak hanya harus mahir dalam nagauta, tokiwazu, dan kiyomoto standar, tetapi juga harus menguasai genre lain seperti hau-ta dan ko-uta (balada populer).
Orang – orang mungkin membayangkan geisha bernyanyi dan bermain musik di depan para tamu, seperti yang mereka lakukan hari ini. Sebaliknya, pada masa lampau adalah tugas geisha untuk mendorong para tamu untuk bernyanyi, jadi mereka harus siap mengiringi lagu apapun yang mungkin diminta oleh para tamu.
Peran “danna,” orang–orang berpengaruh yang melindungi dan mendukung dalam membudidayakan seni seperti ini tentu harus disebutkan. Geisha sangat ahli dalam menghibur orang–orang semacam ini.
Berkat dukungan danna, dua orang dari Shinbashi kagai, ditetapkan sebagai harta nasional yang masih hidup oleh pemerintah pada tahun 1960-an. Serta satu penyanyi itchubushi, dari Asakusa kagai, ditetapkan sebagai harta nasional yang hidup pada tahun 2007.
Baca juga : Kesenian Tradisional Pariaman Mahoyak Tambua
Ricky/Pung W