BUKITTINGGI, SUMBARLIVETV.COM – Almarhum Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, MA pernah berkata bahwa Ranah Minangkabau merupakan tempat produksi otak dan ilmu pengetahuan, pernyataan yang dilontarkan Syafii Maarif bukan hanya sekedar rasa bangga berlebihan terhadap tanah kelahirannya. Ucapan beliau terbukti dari banyaknya cendikiawan yang lahir di tanah Minangkabau, sebut saja, Buya Hamka, Moch. Hatta, Muhammad Nasir, Tan Malaka, Sultan Syahril, dan banyak contoh lainnya.
Minangkabau tidak hanya daerah yang kaya akan pemikiran, namun juga dikenal dengan kentalnya adat istiadat dan kebudayaan. “Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi kitabullah” “Alam Takambang Jadi Guru”. Namun seiring perkembangan zaman banyak generasi muda Minangkabau yang lupa, dan bahkan kehilangan jati dirinya.
Secara teoritis bahasa adalah jati diri, sedangkan budaya adalah bagian dari jati diri yang merujuk pada cara hidup. Jadi bahasa yang digunakan suatu bangsa, kelompok, suku, maupun etnis adalah cerminan jati dirinya, namun hal ini dapat memudar seiring banyaknya penyerapan atau pemaksaan bahasa asli yang dirubah menjadi bahasa yang masuk dari luar, ucap Dirwan Ahmad Darwis, seorang pakar mengenai Jati Diri Masyarakat Minangkabau saat mengisi kuliah umum di Convention Hall Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag, kampus III Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatera Barat, Bukiktinggi, Rabu (6/7).
Sebagai generasi muda Minangkabau penulis juga merasakan bahwa pemaksaan bahasa merupakan suatu bentuk kesalahan yang selama ini mengalami pembiaran. Sebut saja nama daerah di Minangkabau yang dipaksakan menjadi bahasa Indonesia seperti Bukiktinggi jadi Bukittinggi, Payokumbuah jadi Payakumbuh, Pagaruyuang, jadi Pagaruyung, Batusangka jadi Batusangkar, Limo Puluah Koto jadi Lima Puluh Kota, Sijunjuang jadi Sijunjung dan yang paling terkenal dari kota Padang Lubuak Bagaluang dirubah jadi Lubuk Begalung. Syukur Alhamdulillah hingga saat ini Sawahlunto belum dipaksa menjadi Sawahlunta, selain yang penulis sebutkan diatas masih banyak contoh lain pemaksaan bahasa yang terjadi di Ranah Minang.
Jujur saja penulis sangat sedih dengan fenomena ini, sebagai generasi muda Minangkabau muncul pertanyaan kenapa kesalahan ini dipelihara dan dibiarkan berlarut-larut? Apakah ada rasa malu dalam diri masyarakat Minang saat ini saat menyebutkan nama daerahnya dalam bahasa yang sebenarnya hingga harus dilakukan pemaksaan bahasa?
Penulis ingat beberapa tahun lalu pernah menyampaikan kepada Lembaga Karapatan Adaik Nagari (LKAN) dan Lembaga Karapatan Adat Alam Minangkabau di Hotel Pagaruyuang II saat menjadi peserta lomba Panitahan tingkat pelajar se-Sumatera Barat.
Saat itu melalui kedua lembaga ini penulis menyampaikan aspirasi dengan meminta mereka mengajak masyarakat bangga menggunakan bahasa Minang, jangan ada lagi istilah Istana Pagaruyung kembalikan menjadi Istano Pagaruyuang, dan jangan ada lagi nama daerah yang dipaksakan bahasa Indonesia seperti yang terjadi selama ini. Selain itu penulis juga berharap agar pelajaran Budaya Alam Minangkabau dikembalikan karena inilah jati diri kita.
Tentu hal ini perlu jadi pemikiran bagi kita agar tidak menjadi suatu bangsa yang kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat Minangkabau.
Dirwan Ahmad Darwis melanjutkan, pada prinsipnya jati diri terbagi dua ada yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman seperti rekam jejak kehidupan seseorang. Misalkan dahulu siatu individu dikenal sebagai pribadi yang tidak baik, saat ini dia telah berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Sedangkan jati diri yang kedua adalah jati diri kelompok yang merujuk pada budaya, didalam budaya ada bahasa dan bahasa ini berhubungan erat dengan jati diri.
Dalam mempertahankan jati diri ada tantangan yang kita hadapi seperti, dulu kita adalah bangsa yang dijajah secara fisik atau jasmani. Setelah periode penjajahan tersebut berakhir muncul metode penjajahan gaya baru yang disebut neokolopnialisme yang menjajah pemikiran.
Sebenarnya penjajah telah menyiapkan cara ini sejak lama sebagai langkah lanjutan untuk tetap menjajah suatu bangsa yang pernah menjadi daerah jajahannya dengan menerapkan prinsip neokolonialisme. Contoh sederhananya adalah seperti lingkungan akademis yang sangat bangga dan tidak memiliki rujukan lain selain barat.
Agar hal ini tidak berlangsung terus-menerus, kita sebagai generasi muda harus menguasai sejarah agar tidak mudah ditipu, hingga berubah haluan karena sejarah sangat penting dalam mengenal jati diri, melalui sejarahlah kita akan tau siapa kita, ucap Ahmad Darwis menyampaikan.
Dalam mengakaji jati diri orang Minang, Ahmad Darwis membagi atas tiga sudut pandang seperti:
- Orang Minangkabau Asli ; adalah orang Minang yang masih menjunjung tinggi adat istiadat sebagai orang Minangkabau.
- Orang Minangkabau Anyuik ; Dapat diibaratkan dengan orang Minang yang sudah lama merantau dan merasa sudah menjadi bagian dari masyarakat atau suku di daerah rantaunya, hingga tidak mau lagi menggunakan budaya dan bahasa Minang . Kategori inilah yang menjadi Fokus Ahmad Darwis agar segera dipinteh untuk diselamatkan.
- Orang Minangkabau Karam ; Hampir sama dengan orang Minangkabau anyuik, biasanya mereka adalah keturunan orang Minang yang sudah lama merantau dan berkembang disana hingga lupa dan bahkan tidak mengenal adat istiadatnya sebagai orang Minang. Bahkan lebih parah golongan ini tidak tahu persis dimana kampung halamannya, sampai Ahmad Darwis.
Sebelum mengakhiri kuliah umumnya Ahmad Darwis berpesan dengan perumpamaan “Jangan bangga dengan bahasa Inggris, tapi kuasailah bahasa Inggris”
(Frans Fradinen)