Mahasiswa Milenial VS Dosen Kolonial

Mahasiswa Milenial VS Dosen Kolonial – Studi mengenai kaum milenial yang lahir antara 1980-2000 terus dilakukan demi memahami karakteristik dan perilaku mereka. Salah satunya studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 di Amerika. Salah satu kesimpulan studi itu adalah :

Minat baca secara konvensional kini sudah menurun karena Generasi Milennial lebih memilih membaca lewat “smartphone” mereka. Bukannya berarti hilang sama sekali, memang masih banyak orang yang suka membaca buku, tapi tidak lagi di toko buku melainkan lewat e-book.

Mereka lebih suka membaca buku secara online karena tak mau repot atau menghabiskan waktu untuk pergi ke toko buku. Perilaku yang sudah mulai tergeser ini juga menjadikan generasi millenial lebih menyukai segala sesuatu secara visual. Mereka menganggap tulisan konvensional hanya akan membuatnya pusing, oleh karena itu mereka lebih memilih melihat sesuatu dengan gambar dan warna yang menarik.

Studi di atas memberi pesan bahwa dosen sekarang wajib memiliki website atau blog (aplikasi web) untuk menyimpan dan menyebarkan gagasan-gagasan keilmuannya atau pikiran-pikiran inspiratifnya di media online atau media sosial, agar mahasiswanya setiap saat bisa membaca profil dan memahami tulisan-tulisan bernas sang dosen lewat smartphone di tangannya. Jadi pada era milenial ini, jangan sampai mahasiswa mengetik nama dosennya di google (mesin pencari data) tidak muncul, terlebih pikiran-pikiran keilmuannya.

Mahasiswa Milenial VS Dosen Kolonial

Di musim pandemi covid-19 yang melanda hampir setiap negara, saatnya setiap dosen merekonstruksi ulang metode mengajarnya yang selama ini teks book dan tatap muka langsung menjadi sistem pengajaran yang menggunakan pasilitas IT. Dalam konteksi kekinian, disamping harus memiliki website atau blog pribadi,  setiap dosen juga sejatinya membuat studio mini di rumahnya untuk menyebarkan langsung gagasan-gagasan keilmuannya atau temuan ilmiahnya secara online.

Hal ini menjadi penting, karena kalau mengajar masih menggunakan gaya kolonial, sudah pasti ditinggal mahasiswanya yang serba milenial cara berpikirnya. Kaitan dengan itu, pendapat adinda Adrinal Tanjung menarik dikedepankan. Menurutnya : “Hidup berubah dengan cepat, persaingan semakin ketat. Untuk menjadi pemenang diperlukan kompetensi, optimalisasi potensi, kekuatan jaringan dan kolaborasi, serta akses informasi”. Benar, akibat covid-19, hidup berubah drastis. Kalau tidak menyesuaikan diri, bersiaplah menjadi penonton setia yang sesekali gigi jari. Dan yang pasti digilas sejarah.

Penulis : Founder Sipil Institute Jakarta

Tinggalkan Balasan